Suatu hari di musim pancaroba, dimana cuaca berubah seiring bergantinya jam. Pagi hari langit mendung seolah berkata, “kau harus tinggal dirumah hari ini.” Dan kemudian membuktikannya dengan menjatuhkan tetesan demi tetesan air dengan derasnya. Lalu jam pun berganti, dan tiba-tiba langit cerah seketika, seolah berkata, “rasakan panasnya.” Dan kemudian membuktikannya dengan membuat tubuh kita mengalirkan tetesan demi tetesan keringat dengan derasnya. Kemudian tiba-tiba langit mendung kembali, seolah berkata, “kau harus diam lagi dirumah”. Dan kemudian membuktikannya, dan seterusnya, dan seterusnya……, sampai malam hari pun tiba.
Malam itu aku merasa sangat mengantuk, mataku seolah tak mau diajak berkompromi. Suara televisi yang membuatku seolah-olah berada di konser rock pun tak mampu mengurungkan niat mataku untuk terpejam. Aku akan pergi tidur saja, pikirku saat itu. Lalu kemudian aku ingat aku belum sikat gigi. Kukumpulkan semua kekuatan, baik jiwa maupun raga, bersatu padu melawan rasa kantuk yang semakin gigih menyapa. Kugerakkan kakiku selangkah demi selangkah, memfokuskan pikiranku pada satu tujuan: KAMAR MANDI.
Kuambil sikat gigiku dan membasuhnya, menaruhkan pasta gigi sebesar biji jagung diatasanya. Lalu aku membasuh mulutku dan mulai menyikat gigi sesuai dengan ajaran sang calon dokter gigi padaku. Sikat gigi bagian depan satu arah, lakukan dengan perlahan. Posisikan sikat gigi 45 derajat dan mulai sikat gigi bagian belakang dengan gerakan satu arah, lakukan dengan perlahan. Lakukan hal yang sama untuk bagian atas dan bagian dalam, lakukan dengan perlahan. “Kalau salah cara sikat gigi, mending ga usah sikat gigi,” begitu katanya meyakinkanku saat itu. Jadi sejak saat itu aku mengikuti aturannya, dan ya, gigiku terasa lebih bersih.
Selama menyikat gigiku sesekali aku membuka keran air diwastafel. Sekedar untuk mencuci tanganku yang terkena busa ataupun membersihkan wastafel dari bekas ludahanku. Kutatap air yang mengalir dengan derasnya sambil berkata pada diriku, “aku harus mulai belajar menghargai air.” Kuputar arah keran air itu dan berharap dengan sedikit air yang kuhemat, dunia akan terbantu. Kuselesaikan semua urusan tetek bengek dengan sikat gigi, wastafel, dan busa.
As the usual, I need to pee before sleep. Lalu mulailah aku duduk dengan manisnya di toilet sambil memegang selang air ditangan kananku. While I’m, doing my “thing”, aku menyemprotkan air ke arah kakiku (sebelum kita tidur kita juga harus cuci kaki). Percikan airnya sampai kemana-mana (karena aku juga sekalian menyemprot lantai kamar mandiku). Ya, salah satu kebiasaanku adalah menyiram-nyiram lantai kamar mandiku, dengan begitu bisa membuatku merasa lantai kamar mandi itu jadi lebih bersih dari sebelumnya (ya…ya….ya… menghentikan kebiasaan buruk tidak semudah membalikkan telapak tangan, jadi harap mengerti).
Kutatap aliran air yang perlahan-lahan mengalir dari lantai paling ujung menuju kearah lubang pembuangan, yang sebelumnya melewati bulatan kecil dari karet yang biasanya digunakan sebagai penutup atas lubang pembuangan. Tapi sesuatu yang berbentuk persegi panjang, berwarna hitam, memiliki banyak kaki, dan hitam, berlari menjauh menghindari aliran air. Seketika aku terkejut, dan dengan refleks menyemprotkan air dengan derasnya kearah makhluk hidup itu. Beri aku nama! Aku tak tahu apakah itu lipan atau kaki seribu, tapi yang pasti badannya berbuku-buku, kakinya banyak, dan warnanya hitam.
Kulihat dirinya yang terhempas air, lalu mengambang-ngambang dalam pusaran air dilubang pembuangan. Air telah surut namun dia masih bertahan, mencoba berlari kearah pancuran air. Aku bergidik dan kemudian membidik sasaranku, dan serrrrrrrrrrrrrrr, air kembali menghantam tubuhnya. Lagi-lagi dia terbawa arus, mengambang-ngambang dalam pusaran air diatas lubang pembuangan. Saat itu aku tersadar, apakah dia punya teman yang lain? Aku langsung melihat kebawah kakiku, dan syukurlah tak ada temannya. Dengan cepat kuselesaikan “kegiatanku” dan kali ini aku sudah pada posisi menyerang musuh, berjongkok sambil memegang selang air.
Saat itu air surut kembali, dia mulai berlari lagi, kali ini berusaha memanjat keatas dinding. Aku dengan posisi menyerangku dan senjata semprotan airku mulai menyerang dia kembali dengan ganasnya. Dia harus hanyut pikirku. Dia harus hanyut atau aku takkan pernah tahu sampai kapan aku akan melakukan hal ini. Aku tidak bisa meninggalkannya, jika aku berbalik dia bisa berlari kearah yang tidak kuketahui dan bersembunyi disuatu sudut untuk kemudian mucul kembali dan menggigit aku sebagai balas dendam akan perbuatanku padanya. Hal itu tidak boleh terjadi!
“Pergilah! Masukkan ke lubang pembuangan dan jangan kembali. Aku akan memaafkanmu. Semua perbuatanku jangan kau masukkan dihati. Jika suatu saat kita berjumpa lagi, hal ini akan terulang kembali.” kataku dalam hati. Dan seolah-olah dia mengerti dengan bisikan hatiku, aku melihatnya hanyut, masuk kedalam lubang pembuangan. “Aku menang!!!!” jeritku dalam hati. Tapi kali ini kemenangan hanyalah khayalan. Dia muncul kembali, dan kali ini aku bisa melihat bagian bawah tubuhnya yang berwarna coklat.
“Bagian mana dari perkataanku yang tidak kau mengerti?” tanyaku dalam hati. Dia memanjat kearah dinding. Dan lagi-lagi aku menyemprotkan air kearahanya, kali ini lebih lama dan lebih intens. Berharap dia akan masuk ke parit sekalian. Namun saat aku menghentikan semprotanku, dalam hitungan detik dia muncul kembali. Kami terus-menerus mengulang kegiatan ini. Ntah untuk berapa lama, yang kutahu dari pendengaranku iklan-scene OVJ-iklan berlalu silih berganti.
Ntah berapa liter air yang telah kuhabiskan. “Maaf air,” kataku dalam hati. Mudah-mudahan suatu saat air akan mengerti semua ini kulakukan demi kepentingan satu umat manusia, yaitu: AKU.
Kali ini, kali ini aku akan menyerang sampai titik darah penghabisan. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk bertahan lagi. Dari gerak tubuhnya yang melambat, aku tahu dia sudah mulai lelah. Lelah menghadapi air, lelah menghadapi kekeras-kepalaanku. Dan lelah menghadapi hidupnya. Dia masuk lagi kelubang pembuangan, dan aku masih tetap menyemprotkan air. Semenit dua menit kemudian kuhentikan seranganku, berharap ini yang terakhir bagi kami berdua. Kutunggu, sedetik, dua detik, sepuluh detik, satu menit. Dia tidak muncul kembali. Pada saat itu juga aku tahu aku telah menang!!!!!!!!!!!! Menang melawan penjajahan yang tidak ada habis-habisnya. Samar-samar kudengar lagu We are the champions my friend, and we’ll keep on fighting till the end, we are the champions, we are the champions, no time for losers, cause we are the champions – of the world…..
Selesai sudah perjuanganku. Dan untuk memastikannya benar-benar selesai, aku berlari kearah dapur, mengambil termos air dan menuangkan ¾ isinya kearah lubang pembuangan. Berharap kalo dia hanya pingsan, air panas akan membunuhnya. Dan kini semuanya telah selesai.
Liter demi liter air telah berlalu. Mengorbankan dirinya demi satu anak egois bernama Ichin. Hal ini memberikanku satu rasa sedih yang mendalam. Aku menyia-nyiakan air tepat setelah aku merasa aku harus menghargai air. “Besok tidak akan begini,” kataku dalam hati.
Keesokan harinya aku mandi, sambil menyabuni tubuhku aku tetap membiarkan air mengalir. Oh, come on!!!!! Perilaku buruk tidak begitu saja menghilang semudah membalikkan telapak tangan kan?!