Sekitar sebulan yang lalu bapak menanyakan usiaku. Dan ketika mendengar jawabanku, bapak dengan nada yang santai memintaku untuk mulai mencari jodoh. Reaksiku sama santainya dengan nada yang dikeluarkan bapak. Aku cukup "beruntung" dibandingkan dengan teman-teman sepermainanku. Orangtua mereka punya energi yang sangat besar untuk setiap harinya mendorong anak mereka untuk segera menikah, sedangkan keluargaku sangat "tenang" dalam hal ini. Suatu ketika temanku berkata, "Chin, carikan aku pacar lah...." Saat itu aku cuma bilang, "Aku aja belum dapat, gimana mau cari punyamu?" Karena permintaan itu sering sekali disampaikan , akhirnya aku bertanya, "Kau niat kali nikah ya?" Bukan gitu, Chin, bapakku selalu bilang mau lihat aku nikah. Dikesempatan yang berbeda dan dengan teman yang berbeda, seorang teman bilang, "Aku nikah ajalah, carikan aku jodoh orang Karo lah, Chin." Teman-temanku ini seolah-olah membuat diriku semacam biro jodoh, padahal sejujurnya aku paling gak kompeten dalam hal jodoh-jodohan. Dan kataku saat itu, "Kau udah niat nikah ya?" "Mamakku itu tiap hari suruh aku nikah", jawabnya padaku.
Saat kami bertiga bertemu aku bertanya pada mereka berdua, "Emangnya kalian tiap hari disuruh nikah gitu?" Mereka berdua punya jawaban dengan kalimat berbeda namun dengan inti yang sama: Secara berkala orangtua mereka mendorong mereka untuk menikah SECEPATNYA. Begitu hasratnya orangtuanya sampai-sampai kembali ke zaman Sitinurbaya. Diadakanlah acara perjodohan. Syukurnya, anaknya bisa menolak, sedangkan Siti Nurbaya dikawin paksa dengan Datuk Maringgih.
Lain lagi ceritanya dengan teman yang ketiga. Yang ini ceritanya orangtua zaman modern. Si Ortu sampai bikin account facebook demi mempermudah adegan perkenalan antara anaknya dengan anak-anak temannya. Sekali lagi syukur, walau setiap hari meminta anaknya menikah, sang Orangtua masih menghargai pilihan anaknya.
Aku sangat mensyukuri keluargaku yang tak pernah mendesakkan sesuatu pada anggota keluarga yang lain. Gak kebayang gimana rasanya kalau harus memikul beban stres karena tuntutan pernikahan. Dan ya, teman-temanku ada yang merasa tertekan karena hal itu.
Didalam ketenangan keluargaku, pihak lain justru mendorong. Entah ada angin apa tiba-tiba seharian ini orang-orang mengangkat topik jodoh denganku. Dimulai dipagi hari, ketika aku pergi ke toko obat. Ketemu dengan seorang ai (bibi), dia mengenalku dan mulai mengobrol denganku. Dipertengahan cerita dia mulai bertanya. "Udah punya teman?" "Belum, i," kataku. "Oh, udah bisa dicari itu." Aku cuma tersenyum sambil mengangguk. "Nanti cari yang ten nang (suku tiong hoa) aja ya," katanya berbisik sambil melirik asisten rumah tangga yang kebetulan kubawa. Mungkin dia merasa tak enak kalau sampai kedengaran. "Kalau sama ten nang enak. Lihatlah brbrbrbr (entah siapa, aku tak bisa mendengar dengan jelas), dia kan kawin sama ten nang, kan enak." "Iya, iya, i," kataku sambil mengangguk cepat, takut telat pergi mengajar.
Hmmm apa iya enak, pikirku dalam hati. Teringat dua bulan yang lalu aku menonton siaran Jepang yang menceritakan trend warga Cina yang mana kaum pria akan berselingkuh demi harga diri. Hffff.... kalau itu deskripsi dari enak, aku menyerah saja!
Saat mengajar kelas pagi, anak muridku tiba-tiba berujar, "Miss, pasti udah punya pacar!" Aku cuma bisa melihatnya dengan tampang bingungku. Dia kemudian mengejar lagi, "Iya kan! Iya kan! Iya kan?!" Dan aku menjawab, "Sok tahu!"
Sebelum kelas sore dimulai aku pergi membeli roti, disana aku ketemu dengan adik ipar pamanku. Dan dia pun mulai bertanya. "Ichin udah ada pacar?" Lagi-lagi harus menjawab, "Belum, i." "Udah bisa cari itu, Chin. Lu udah umur berapa." "Datang sendirinya nanti itu, i." "Jangan gitu lu, Chin. Udah bisa cari itu." "Okelah, i, nanti kucari," jawabku mengelak. Ketika aku beranjak pergi dia berkata, "Chin, lu cari yang orang Cina aja ya." "Ya, ya ,ya," kataku sambil mengangguk dan menjauh.
Dalam perjalanan menuju tempat les aku kemudian mengorek-ngorek memoriku. dulu emakku sering kali berkata pada saudaranya yang orang karo. "Aku pagi la kubere anakku ei man kalak karo. Anakku e pagi rasa kalak cina. Adi kalak karo melala kel adat-adatna silang-lang. La ateku bage." (Artinya: Kalau aku nanti gak akan ngasih anakku sama orang karo. Nanti anakku sama orang cina. Kalau orang karo banyak kali adatnya yang aneh-aneh. Aku gak suka) Dan saudara emakku menjawab, "Uelah, uelah," sambil mengangguk-angguk. (Artinya : iyalah, iyalah).
Aku berpikir keras, bukankah adat dan kebiasaan tiong hoa dan karo itu sama saja absurdnya? Sama saja merepotkannya? Sama saja anehnya? Kalau yang dimaksudkan emakku dimana semua bagian adat yang merepotkan itu dihilangkan dan jalani hidup dengan norma normalnya manusia, aku setuju. Keluarga kami terlalu hybrid untuk masuk ke ras tertentu. Kami terlalu netral untuk mengikuti suatu adat. Bisa dibilang pengetahuan kami anak-anaknya terlalu tanggung untuk mengikuti adat apapun juga. Keluarga kami terlalu tiong hoa bila dipandang dari sudut karo dan terlalu karo dari sudut pandang tiong hoa. Karena sebenarnya keluarga kami hanya menjalankan hidup selayaknya manusia tanpa terpengaruh suatu adat tertentu. Malah bapakku yang original tiong hoa merasa beberapa adat istiadat hanyalah formalitas dan emakku yang notabene karo malah tak suka dengan adat-adatnya yang "merepotkan".
Kembali lagi ke topik jodoh. Saat masuk kelas terakhir, muridku menyeletuk, "Miss, udah punya pacar?" Dan jawabanku, "MAU TAHU AJA!!!!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar